Jumat, 24 Oktober 2008

Rakyat Sejahtera, Hutan Terjaga

Ditulis Oleh Imam Wiguna
Jumat, 24 Oktober 2008

Perjalanan ke Desa Blaban, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pada Agustus 2007 begitu menegangkan. Maklum, kedatangan saya ke desa itu bersama-sama rombongan polisi hutan dan Kepolisian Resort Melawi yang hendak menangkap warga yang membakar hutan.

Saya terpaksa mengikuti rombongan karena satu-satunya jalan menuju desa itu hanyalah dengan diantar polisi hutan. Desa Blaban berada di dalam wilayah sebuah perusahaan penebangan kayu dan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya. Hanya mereka yang memiliki akses untuk memasuki kawasan itu. Tujuan saya ke Bukit Semunga meninjau populasi pasak bumi yang menurut informasi pengelola taman nasional melimpah di bukit itu.

Ketika itu aparat polisi hutan melarang saya untuk menetap di Desa Blaban. Mereka khawatir saya akan disandera warga untuk menuntut pembebasan tersangka. Namun, saya kukuh untuk bermalam di sana. Musababnya, lokasi Desa Blaban paling dekat dengan Bukit Semunga.

Beruntung apa yang dikhawatirkan polisi hutan itu tidak terjadi. Warga Desa Blaban cukup bijaksana dengan tidak melibatkan saya dalam konflik mereka dengan polisi hutan. Genteng, salah seorang warga, akhirnya bersedia menyediakan penginapan untuk beberapa hari.

Hasil perbincangan dengan Genteng, alasan warga Desa Blaban membakar hutan sebetulnya sederhana. Mereka membutuhkan lahan untuk berladang. Menurutnya langkah itu satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan pangan. Maklum, untuk memperoleh kebutuhan pokok, warga mesti pergi ke kota Nangapinoh. Tak hanya jaraknya yang jauh yakni mencapai 120 km, tetapi transportasi ke kota juga sulit.

Mereka mesti menumpang kendaraan milik perusahaan penebangan kayu yang melewati desa Blaban. Itu pun tak setiap saat melintasi desa. Mobil itu hanya mengantarkan mereka hingga kantor perusahaan. Dari sana warga mesti menggunakan angkutan umum menuju Nangapinoh. Angkutan umum itu pun hanya berangkat bila penumpang penuh.

Kesulitan itulah yang mendorong mereka membudidayakan tanaman pangan. Sayangnya ketersediaan lahan terbatas. Satu-satunya cara dengan menggunakan areal hutan yang berada di sekitar desa. Karena tak memiliki alat-alat berat untuk membuka ladang, warga pun menggunakan cara praktis yaitu dengan membakar hutan.

Kebakaran hutan salah satu ancaman terbesar kelestarian hutan. Data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menunjukkan kebakaran selalu terjadi setiap tahun. Puncaknya terjadi pada 1998. Ketika itu terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan 508.732 hektar areal hutan di Kalimantan Timur.

Warga di sekitar hutan kerap dituduh sebagai biang kebakaran hutan. Ironisnya, perusahaan kayu yang menebang hutan ribuan hektar setiap harinya leluasa membabat hutan tanpa dihantui ancaman hukum. Sedangkan warga Desa Blaban yang hanya membutuhkan luasan lahan kurang dari sehektar menjadi bulan-bulanan hukum.

Fenomena itu menunjukkan betapa timpangnya manfaat ekonomi hutan yang diperoleh perusahaan kayu dan masyarakat di sekitar hutan. Perusahaan-perusahaan logging dengan leluasa mengeruk miliaran rupiah dari hutan. Sedangkan warga hanya cukup untuk mengganjal perut. Itu pun seringkali dihantui ancaman hukum.

Tak bisa dipungkiri bahwa hutan sejatinya memiliki 2 fungsi: konservasi dan sumber ekonomi. Semestinya kedua fungsi itu duduk berdampingan. Masyarakat memperoleh manfaat ekonomi, tanpa melupakan konservasi. Sayangnya motif ekonomi seringkali lebih dominan ketimbang upaya melestarikan hutan. Ketimpangan itulah yang membuat laju deforestasi di tanahair terus meningkat.

Lalu, bagaimana menghentikan laju deforestasi sementara warga di sekitarnya menjadikan hutan sebagai sumber ekonomi? Mungkin warga Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, hingga kini masih teguh menjaga hutan. Aturan adat melarang mereka menyentuh hutan Setulang yang masih perawan. Keteguhan mereka dibuktikan dengan menolak berbagai tawaran perusahaan penebangan kayu yang akan membeli hutan Setulang. Padahal nilai yang ditawarkan mencapai miliaran rupiah.

Sayangnya kesetiaan mereka kepada hutan tak berbalas pada peningkatan taraf ekonomi warga. Sarana pendidikan di Desa Setulang kurang layak sehingga sebagian warga mesti merantau ke desa lain untuk bersekolah. Beberapa pemuda di sana juga banyak yang putus sekolah dan akhirnya menjadi buruh perusahaan kayu.

Larangan adat membuat mereka tak bisa memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hutan sekadar memenuhi kebutuhan subsisten. Padahal, seiring berkembangnya zaman, kebutuhan hidup pun kian beragam. Tak hanya pangan yang mereka butuhkan, tetapi juga uang tunai untuk membiayai pendidikan dan kebutuhan primer lainnya.

Entah sampai kapan warga Desa Setulang teguh menjaga hutan di tengah himpitan ekonomi yang semakin berat. Di masa mendatang tak mustahil kesetiaan mereka pada hutan akan goyah.

Itulah sebabnya pemerintah tak cukup hanya memberikan penghargaan bagi mereka yang menghargai hutan. Warga di sekitar hutan lebih membutuhkan langkah nyata untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka sehingga tak lagi harus merusak hutan. Salah satunya dengan memberi insentif khusus untuk pembangunan desa yang teguh merawat hutan, seperti Desa Setulang dan Ammatoa Kajang.

Sayangnya terbatasnya anggaran kerap menjadi alasan pemerintah daerah. Sejatinya dana itu dapat diperoleh dari berbagai sumber. Hutan yang terjaga sebetulnya bisa menjadi tambang uang tanpa perlu merusaknya. Salah satunya melalui perdagangan karbon. Berdasarkan Protokol Kyoto, negara atau industri yang menghasilkan emisi karbondioksida diwajibkan membayar kompensasi kepada suatu daerah yang melestarikan hutan. Nilai kompensasi berdasarkan jumlah karbondioksida yang diserap oleh pepohonan di suatu kawasan.

Saat ini banyak lembaga-lembaga nonpemerintah yang menjadi mediator antara industri penghasil emisi karbondioksida dengan para pengelola hutan. Salah satunya Borneo Tropical Rainforest Foundation (BTRF). Lembaga swadaya masyarakat itu menggandeng Global Eco Rescue (GER), perusahaan perdagangan karbon di Inggris, sebagai fasilitator untuk memasuki pasar karbon sukarela (Voluntary Carbon Market). Sebagai imbalan, kelompok masyarakat atau pemerintah daerah yang melestarikan hutan memperoleh dana konservasi senilai 1 Euro/ha/tahun.

Pemerintah Kabupaten Malinau tengah menjajaki peluang itu. Bupati Malinau Martin Billa mendaftarkan hutan di kawasannya seluas 325.041,6 ha ke dalam perdagangan karbon. Itu artinya pemerintah Kabupaten Malinau akan memperoleh dana konservasi senilai Rp4,2-miliar/tahun. Ditambah lagi bagi hasil perdagangan karbon yang akan diperoleh setiap 5 tahun. Dana itulah yang nantinya dialokasikan untuk pembangunan desa yang setia menjaga hutan.

Langkah Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten juga bisa dijadikan contoh. Perhutani membuka kesempatan kepada pemilik modal untuk berinvestasi di areal hutan lindung Bandung Utara. Para investor cukup menanamkan investasi berupa bibit tanaman buah dan biaya pemeliharaan. Komoditas yang ditanam adalah buah yang bernilai ekonomi tinggi seperti durian, alpukat, dan lengkeng. Tanaman buah itu ditanam di areal hutan yang gundul akibat ulah warga yang membuka lahan untuk berladang dan areal hutan industri yang beralih fungsi menjadi hutan lindung seluas 8.000 hektar.

Warga di sekitar hutan lindung yang nantinya merawat tanaman buah milik investor. Sedangkan keuntungan dari hasil panen dibagi dengan proporsi 50% untuk investor, 20% untuk masyarakat di sekitar hutan melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), 20% untuk Perhutani, dan sisanya untuk pengelola. Dengan begitu warga yang semula berladang di kawasan hutan lindung tak kehilangan penghasilan. Mereka pun akan mencintai hutan karena dari sanalah mereka menyandarkan kebutuhan hidup.

Nun di Desa Temula, Kecamatan Nyuatan, Kutai Barat, Kalimantan Timur, warga suku Dayak Benuaq juga menanami hutan di sekitar desa dengan tanaman buah seperti durian, mawoi, dan cempedak. Biji-biji buah mereka tebar di halaman rumah atau di sepanjang jalan ketika sedang mencari kayu bakar.

Ketika musim berbuah warga di sana membangun tenda di tengah hutan. Setiap hari mereka memungut durian yang jatuh. Buah itu kemudian dijual kepada para pengumpul dengan harga berkisar Rp10.000—Rp15.000/buah. Durian itu nantinya dijajakan di Samarinda. Pohon-pohon buah itu diwariskan turun-temurun. Kepemilikan pohon diatur dalam hukum adat.

Oleh sebab itu warga Desa Temula banyak yang memiliki pohon durian berumur ratusan tahun. Produktivitasnya mencapai 100—300 buah/tahun. Dengan harga jual Rp10.000 saja, warga di sana mengantongi pendapatan Rp1-juta—Rp3-juta dari sepohon. Rata-rata warga memiliki 3—4 pohon durian berumur tua. Dengan begitu rakyat makin sejahtera, hutan pun tetap terjaga. (Imam Wiguna)

0 comments:

Based on original Visionary template by Justin Tadlock
Visionary Reloaded theme by Blogger Templates

Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukabumi Visionary WordPress Theme by Justin Tadlock Powered by Blogger, state-of-the-art semantic personal publishing platform