Senin, 14 Desember 2009

Taman Buaya Blanakan

Ditulis Oleh Agung Nugroho
Senin, 14 Desember 2009

Bruno tak Pernah Memakan Seekor pun Cecak

Buaya ternyata tak seganas yang digambarkan. Binatang melata itu juga bisa jinak bahkan mau menurut apa yang diminta pawangnya. Misalnya, disuruh membuka mulutnya yang lebar hewan yang dikenal buas itu mau saja.

Itulah yang terjadi pada Bruno. Bruno adalah buaya tertua yang berada di Wana Wisata Buaya Blanakan, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang. Usianya sudah 29 tahun. Badannya sangat besar dengan panjang lima meter dan lebar hampir satu meter.

"Meski tubuhnya besar dan terlihat buas, Bruno sebenarnya jinak," tutur Santoso, petugas lapangan, sembari meminta Bruno membuka mulut besarnya yang berisi taring besar dan gigi tajam.

Bruno merupakan buaya generasi pertama atau "filial utama" (F-0) yang dibawa oleh Perum Perhutani Jawa Barat di tahun 1988 dari tempat asalnya di Pontianak. Bersama 72 ekor buaya lainnya yang didatangkan dari Kalimantan, Bruno ditempatkan di Wana Wisata pesisir Pantai Utara (Pantura) di Blanakan, Subang.

Bersama Jackrem, juga berusia 29 tahun, Bruno merupakan buaya paling senior di antara ratusan buaya yang dipelihara dan dikembangbiakkan di taman wisata tersebut. Bruno dan Jackrem merupakan buaya jantan yang kini ditempatkan di kolam pertunjukan di lokasi wisata itu, bersama lima ekor lainnya yang meski sama-sama sudah berusia di atas 25 tahun, tetapi pertumbuhan tubuhnya tak sesubur Bruno dan Jackrem.

Bruno dan Jackrem merupakan buaya tua yang jadi andalan atraksi unjuk kebolehan menjinakan buaya. Setiap musim kunjungan, seperti hari Minggu, liburan sekolah, atau Lebaran, Bruno dan Jackrem sibuk melayani kehausan ratusan penonton yang ingin melihat buaya berukuran raksasa, tetapi jinak.

"Pada setiap pertunjukan, kami tawari penonton untuk duduk di atas Bruno dan Jackrem. Hanya penonton yang bernyali besar saja yang berani," ujar Santoso, pegawai Perhutani yang menjadi petugas lapangan di Wana Wisata Taman Buaya.

Sejak musim liburan berlalu, Bruno, Jackrem, dan buaya lainnya lebih banyak menganggur. Pengunjung pada hari-hari biasa relatif sepi, tidak lebih dari dua puluh orang rata-rata tiap harinya. Namun berbeda dengan hari libur, khususnya Lebaran. Pengunjung bisa membeludak setengah bulan berturut-turut.

"Taman Buaya hanya ramai kalau libur. Pada hari-hari biasa terhitung sepi. Tingkat kunjungan per tahun rata-rata 12.000 orang," tutur Santoso yang bertugas sejak 1988.**

Belakangan ini Taman Buaya memang lagi sepi. Oleh karena itu, Bruno dan Jackrem lebih banyak berleha-leha. Hari demi hari dihabiskan hanya tiduran di pinggir kolam, atau sesekali membasahi tubuhnya dengan nyemplung di kolam selebar lapangan bola basket yang berwarna kehijauan itu.

Begitu juga dengan buaya lainnya. Bahkan karena musim kawin telah lewat, buaya-buaya itu dikembalikan ke kandang yang tersedia di lahan seluas 2,7 hektare yang dikhususkan sebagai penangkaran buaya di areal wana wisata tersebut.

Ada 230 ekor buaya yang berada di penangkaran tersebut. Dari tahun 1988 yang semula berjumlah 88 ekor, buaya di Taman Buaya itu berkembang biak mencapai ribuan. Sebagian lainnya oleh Perhutani dikirim ke berbagai tempat penangkaran yang tersebar di Pulau Jawa seperti di Banten maupun di Taman Pluit Jakarta.

Bruno dan Jackrem merupakan generasi utama (F-0) yang dibawa dari Pontianak. Sekarang, mereka hidup bersama anak-anaknya yang masuk generasi pertama (F-1), termasuk ratusan cucunya (F-2). Disimpan di dua puluh kolam di areal yang masih wilayah hutan bakau (mangrove) Tegaltangkil, sekitar 15 kilometer sebelah utara dari jalur utama Pantura-Jakarta-Ciasem-Cirebon.

Buaya yang dikembangbiakkan di Taman Buaya Blanakan merupakan jenis buaya muara (Crocodylus porosus), termasuk jenis yang ganas dan buas. Usianya juga bisa sampai 80 tahun dan tubuhnya bisa mencapai sepanjang 8 meter. Seperti halnya Bruno dan Jackrem, jika terus hidup dengan makanan terjamin, masih bisa lebih besar.

Di Taman Buaya Blanakan, buaya-buaya itu diternakkan. Dipisahkan sesuai dengan batasan usia di empat tempat penangkaran di lokasi wana wisata yang merupakan cagar alam yang dilindungi.

Perhutani selaku pengelola wana wisata itu memercayakan cagar alam yang dilindungi kepada dua pegawainya, Santoso dan Ridwan. Sebelum ditempatkan di kawasan itu, keduanya lebih dulu dilatih tentang bagaimana caranya merawat buaya.

"Sebelum dipercaya perusahaan, saya dan Pak Ridwan menjalani pelatihan khusus. Awalnya memang takut. Siapa sih yang enggak takut sama buaya. Tetapi setelah menjalani pelatihan, ternyata binatang itu bisa dijinakkan. Sekarang sudah dua puluh tahun lebih saya hidup bersama Bruno, Jackrem, dan ratusan buaya. Di antara kami seperti ada hubungan emosional," tutur lelaki asal Solo, Jawa Tengah ini.

Sejak tahun 1988, sudah ribuan ekor buaya ditangkar di areal yang sebenarnya merupakan hutan lindung pohon bakau atau mangrove (Rhizophora sp) dan api-api (Avicennia sp) ini. Sebagian besar, selain dijual, juga dikirim ke berbagai tempat penangkaran seperti di Banten dan Taman Pluit Jakarta.
Santoso dan Ridwan mengurus seluruh buaya itu. Mereka memindahkan buaya, mengawinkan, sampai ikut membantu pengeraman telur hingga sampai menetas. Mereka kemudian memelihara buaya kecil hingga bisa tumbuh besar, menjadi remaja, dan dewasa.

"Saat musim kawin pada bulan November, yang terlihat birahi kami pindahkan satu per satu ke tempat breeding (pembiakan dan pengeraman). Mudah untuk menentukan yang lagi birahi, biasanya buaya itu berputar-putar, si betina lebih agresif. Buaya yang birahi biasanya mengeluarkan suara mirip lenguhan kerbau atau soang," tutur Santoso.**

Memindahkan buaya merupakan pekerjaan yang tidak ringan. Harus ada kesamaan pandangan. Jangan sampai ada salah satu yang ragu sebab kalau ragu sedikit bisa berbahaya bagi lainnya. "Saya dan Pak Ridwan harus satu hati dan satu stamina. Kalau satu ragu tidak bisa. Kalau lagi sama-sama memegang buaya, yang satu tiba-tiba ragu lebih baik jangan diteruskan. Bagaimanapun buaya itu jenis binatang buas dan ganas. Mereka bisa melompat untuk menerkam yang mau dijadikan mangsa. Meski begitu, alhamdulillah selama ini tak pernah ada kecelakaan. Paling tergigit sedikit, itu mah wajar," tutur Santoso.

Seekor buaya betina bisa menetaskan 35 ekor. Dalam perjalanan, yang hidup dan sampai dewasa paling hanya 10 ekor, sisanya mati karena penyakit atau daya tahan tubuhnya lemah. Yang bisa tumbuh sampai dewasa biasanya dipisahkan ke tempat pembesaran (rearing).

Soal makanan selama ini memang merepotkan. Ratusan buaya yang ditangkarkan membutuhkan makanan dalam jumlah besar. Selama ini, antara pendapatan dari pengunjung yang tiket masuknya Rp 8.000,00/orang, dirasa kurang. Akan tetapi Perhutani Jawa Barat memberi subsidi berupa dana khusus yang dialokasikan untuk kebutuhan logistik bagi Bruno, Jackrem, dan ratusan buaya lainnya.

"Untuk Bruno dan enam ekor buaya untuk pertunjukan sering dapat makanan dari pengunjung yang ingin menyaksikan atraksi. Kami sediakan bebek untuk santapannya," tutur Santoso.

Namun bila pengunjung sepi, Perhutani memberi makanan berupa ikan yang kebetulan banyak tersedia karena letak lokasi wisata itu berdekatan dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Blanakan. Untuk makanan, buaya membutuhkan hewan berdaging yang minimal seukuran bebek atau ayam. Oleh karena itu, jangan harap Bruno, Jackrem, dan ratusan buaya di Taman Buaya Blanakan mau menyantap binatang sekecil cecak.

"Ha...ha...ha, mana doyan Bruno sama cecak. Mungkin geli kalau melihat ada cecak, atau malah takut," ujar Santoso.

Sebagai pengelola wana wisata sekaligus pawang, Santoso tahu betul bagaimana karakter Bruno, Jackrem, dan buaya lainnya. Meski buas dan ganas, sebenarnya buaya bukan jenis hewan rakus.
"Kalau kenyang, tidur. Cenderung jinak, tidak agresif," tutur Santoso.

Buaya muara ternyata beda dengan "buaya darat". Bruno, Jackrem, dan ratusan buaya itu hanya ganas dan buas, tetapi tidak rakus. Berbeda dengan "buaya darat" yang tak hanya buas dan ganas, tetapi juga rakus, sampai-sampai seekor cecak pun dicincang, tak menyisakan sedikit pun makanan bagi lainnya. (Agung Nugroho/"PR")***

0 comments:

Based on original Visionary template by Justin Tadlock
Visionary Reloaded theme by Blogger Templates

Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukabumi Visionary WordPress Theme by Justin Tadlock Powered by Blogger, state-of-the-art semantic personal publishing platform