Senin, 25 Agustus 2008

Desa Burat Wonosobo, Terbaik 2 Nasional Peduli Kehutanan

Ditulis Oleh Lis Retno W
Senin, 25 Agustus 2008

Desa Burat Kecamatan Kepil berhasil meraih juara nasional desa peduli kehutanan dalam rangka lomba penghijauan dan konservasi alam 2008. Penghargaan nasional ini kali kedua diterima. Setelah tahun 2005, desa yang dipimpin Kades Bambang Margono tersebut dinobatkan sebagai juara program pemberdayaan berpresfektif gender (P2MBG).

Raut muka Bambang Margono terlihat sumringah ketika menunjukkan piala dan piagam yang ditandatangani Menteri Kehutanan M.S Kaban. Penghargaan tersebut diserahkan belum lama ini (19/8) bersama peraih prestasi lain dari seluruh Indonesia. Dan ia berkesempatan mengikuti upacara detik-detik proklamasi kemerdekaan di halaman Istana Merdeka Jakarta.

“Tidak menyangka desa kami bisa menjadi terbaik 2 nasional. Ini upaya kerja keras warga kami dalam menyelamatkan lingkungan,” ujar Bambang didampingi Kasi Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Wonosobo, Joko Wahyono ketika ditemui di pendopo belakang kabupaten kemarin.

Juara pertama disabet wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Margono –sapaan akrabnya- menjelaskan upayanya me-ngubah pola pikir masyarakat yang semula tergantung pada tanaman semusim menjadi gemar menanam kayu produktif yang lebih menguntungkan.

Desa Burat merupakan pintu masuk dari Kabupaten Purworejo menuju Wonosobo di bagian selatan timur. Berjarak 8 kilometer dari ibukota Kecamatan Kepil dan 22 kilometer dari Kota Wonosobo. Desa yang berpenduduk sekitar 2650 jiwa itu tergolong tandus. Tidak seperti kawasan utara Wonosobo yang makmur dengan lahan pertanian subur. Di Burat rata-rata warga menanam ketela pohon, dan mengerjakan sawah tadah hujan. Kondisi lahan setempat juga rawan longsor.

”Dulu, masyarakat ke pasar jual ketela pohon dengan harga murah, pulang membeli keripik singkong. Ini sungguh ironi. Sebagai penghasil singkong tidak mampu mengolah sendiri,” katanya bersemangat.

Ketergantungan masyarakat terhadap tanaman semusim sangat tinggi. Padahal masih ada peluang dengan menanam kayu-kayuan di lahan pekarangan. Bapak dua anak itu lantas mencoba menanam kayu albasia atau sengon di lahan satu hektare milik istrinya. Di bawahnya ditanami pisang. Itu dilakukan sebagai contoh warga agar tidak tergantung pada kebiasaan menanam tanaman semusim.

Semula ia dicemooh karena albasianya dianggap mengganggu tanaman semusim milik tetangga. Ternyata, hasilnya cukup menggembirakan bila dibandingkan tanaman semusim. Ia mengalkulasi, tanaman semusim 1 hektare per 6 tahun menghasilkan Rp 3,6 juta. “Tapi kalau ditanami albasia 1 hektare per 6 tahun mencapai Rp 28 juta,” tandas pensiunan anggota TNI pangkat terakhir Pelda itu.

Sejak memimpin Burat tahun 2003, pria berkacamata minus itu berpikir keras untuk menaikkan pendapatan ekonomi warganya. Menurut catatannya ada sekitar 32 kebutuhan penting yang diperlukan masyarakat. Antara lain bagaimana lahan hutan negara yang berada di kawasan desa dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara legal. Karena Desa Burat memiliki 436 hektare hutan rakyat dan 370 hektare hutan negara.

Kemudian terjadi kesepakatan antara masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan Perhutani mengenai pengelolaan lahan hutan di bawah tegakan.

”Warga menanami lahan di bawah tegakan dengan tanaman pisang, kapulaga, nanas, kimpul dan tanaman semusim lain tanpa merusak kayu hutan,” papar pria berusaia 53 tahun tersebut.

Selain itu, masyarakat juga mendapatkan sharing hasil sadapan getah pinus. Diceritakan Margono, sejak itu kondisi perekonomian berangsur membaik. Tidak ada lagi warga yang menganggur. Ada yang menjadi petani sadap, dan sanggem. Berbagai pelatihan ketrampilan mengolah hasil pertanian juga diberikan pada masyarakat. Sehingga, kini warga setempat piawai membuat keripik singkong, keripik dan sale pisang, atau kerajinan dari bambu.

Pekarangan warga didominasi kayu-kayuan, terutama albasia. Bahkan dari hasil bertanam kayu ini, masyarakat dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana. ”Warga saya namanya Ibu Sumi, berhasil menyekolahkan 4 anaknya menjadi sarjana berkat menanam kayu. Jadi bisa dikatakan makanan pokok warga itu kayu-kayuan,” katanya sembari tertawa.

Di samping bernilai ekonomi tinggi, menanam tanaman keras mendukung pelestarian lingkungan. Suami Sutarini itu menyebutkan tanah pekarangan milik warga yang dulu pernah longsor kini aman karena penuh tanaman albasia. Setelah melihat hasil kayu cukup bagus, warga getol menanam. Mereka tiap saat membeli bibit untuk ditanam di pekarangan. Antara warga kaya dan miskin terjalin kerjasama dengan menyerahkan pengelolaan tanamannya kepada yang kurang mampu dengan cara bagi hasil. Sepertiga pa-nenan diperuntukkan bagi yang merawat tanaman, sisanya untuk pemilik tanah. Sosialisasi peraturan mengenai pengelolaan hutan dilakukan formal dan nonformal secara rutin pada masyarakat. (*/ida)

*Lis Retno W, Wonosobo


Bookmark and Share

0 comments:

Based on original Visionary template by Justin Tadlock
Visionary Reloaded theme by Blogger Templates

Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukabumi Visionary WordPress Theme by Justin Tadlock Powered by Blogger, state-of-the-art semantic personal publishing platform