Sabtu, 25 Juli 2009

Ratusan Miliar Rupiah dari Getah Pinus

Ditulis Oleh Ari Bowo Sucipto
Sabtu, 25 Juli 2009

Rusman, (54) menyadap getah pinus untuk dijadikan bahan baku tiner dan cat di Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Dalam dua kali panen per bulan, getah pohon pinus dijual Rp 1.100 per kilogram.

Sebanyak 2,4 juta hektare lahan hutan milik Perum Perhutani turut sumbang pendapatan negara sebesar 2,5 triliun, terhitung pada semester I tahun 2009 ini, dengan kontribusi hasil tanaman pangan mencapai lebih Rp 1 triliun per tahun, seperti beras, jagung, dan biji-bijian.

Direktur Pemasaran dan Industri Perum Perhutani Achmad Fachrodji menyatakan, saat ini Perum Perhutani juga sedang mengupayakan pergeseran salah satu pendapatan makro mereka, yakni hasil tebang kayu, khususnya kayu jati ke material lainnya, seperti penjualan getah pinus yang diakui memiliki banyak fungsi sebagai bahan mentah olahan atau bahan campuran.

"Sebagai contoh, kami telah bekerja sama dengan sebuah perusahaan pena terkemuka. Kami menjual hasil getah pinus yang dimanfaatkan mereka sebagai bahan campuran tinta," kata Fachrodji di Jakarta, Selasa (14/7).

Getah hasil sadapan dari batang pohon pinus yang dikenal dengan nama gondorukem tersebut, antara lain bermanfaat sebagai perekat warna pada industri percetakan, yakni tinta dan cat, pada pewarna di sejumlah produk kosmetik, perban gigi, sejumlah bahan baku tas, dan hasil destilasinya juga dimanfaatkan sebagai terpentin.


Rp 512 Miliar

Pada semester I tahun 2008 saja, laba yang diperoleh Perum Perhutani dari hasil ekspor gondorukem mencapai Rp 512 miliar. Angka yang menurutnya cukup bersaing dengan hasil ekspor kayu Jati bundar saja mencapai sekitar Rp 750 miliar.

Sebagai gambaran, pendapatan Perum Perhutani pada 2008 lalu 47 persen disumbang oleh hasil kayu tebangan, industri kayu sebesar 24 persen dan hasil hutan nonkayu 24 persen. Berbeda dengan tahun 2007, di mana pengelolaan Perhutani masih didominasi hasil kayu tebangan yang mencapai 60 persen, diikuti industri kayu 17 persen dan nonkayu baru sekitar 23 persen.

Potensi lain yang hendak dikembangkan oleh Perum Perhutani selain gondorukem, yaitu tanaman sorgum. Investasi yang akan disiapkan untuk pengelolaan tanaman tersebut diperkirakan antara Rp 24 miliar sampai Rp 27 miliar, dengan target bisa menghasilkan pendapatan Rp 38 miliar per tahun.

Fachrodji menyebutkan, dari total wilayah hutan milik Perum Perhutani seluas 2,4 juta hektare tersebut, sebanyak 5.000 hektare adalah lahan dengan izin tebang. Sekitar 800 m3 di antaranya merupakan lahan tanaman pohon jati dan pohon tebang lainnya, kemudian sekitar 600.000 hektare terdiri dari hutan lindung yang kini sama sekali eksistensinya tidak boleh diganggu gugat dengan melakukan penebangan.

Dia berkomentar, "coba saja perhatikan, kalau ada longsor di suatu wilayah, pasti yang disalahkan Perum Perhutani. Dikatakan, karena hutannya habis dibabat, dan sebagainya. Karena itu, kami berupaya untuk lebih ketat dalam menjaga kelestarian hutan lindung ini."


Potensi Pariwisata

Selain wilayah hutan yang dimanfaatkan sebagai lahan tabang ataupun konservasi hutan lindung, Perum Perhutani juga memiliki sekitar 130 lokasi wisata yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, demikian Fachrodji menyatakan rasa sesalnya, sebab sejauh ini mereka masih memiliki kendala dalam hal pengembangan wilayah pariwisata tersebut.

"Kami juga mempertimbangkan kondisi kontribusi lahan wisata ini bagi pendapatan kami. Tetapi, kenyataannya income yang kami terima tidak bisa maksimal, sebab masih harus kami bagi lagi dengan pemerintah daerah setempat dan pihak terkait lainnya," ujar Fachrodji yang menjawab anggapan, Perum Perhutani kurang maksimal dalam mengolah potensi wilayah kepariwisataan mereka.

Pertanyaan mengapa mereka juga seolah sangat minim dalam berpromosi dan mengampanyekan sektor lahan wisata, contohnya melalui iklan di media elektronik atau media cetak, menurut pertimbangannya dana yang harus dikeluarkan masih sangat tidak sebanding dengan perkiraan pendapatan yang akan diperoleh.

"Untuk berpromosi di sebuah televisi swasta saja contohnya, dana yang harus dikeluarkan untuk sekali tayang hingga sebesar Rp 75 juta. Lha kami harus menjual tiket dengan harga berapa agar kami bisa balik modal," ujar lulusan S1 dan S2 Institut Pertanian Bogor (IPB) dan sekarang sedang menyelesaikan S3 di institut yang sama.

Meski demikian, untuk tahun ini, Perum Perhutani telah memiliki 136 proyek bidang pariwisata, yang baru meliputi wilayah seputaran Pulau Jawa saja. Proyek tersebut juga dalam upaya menanamkan pengertian pada masyarakat bahwa dengan mau membayarkan sejumlah uang melalui pungutan tiket, maka mereka berkontribusi dalam upaya menjaga keberlangsungan wilayah tersebut. Sebab, hasil pungutan tersebut pun nantinya dimanfaatkan untuk biaya konservasi.

"Sejauh ini sih kami sudah beraliansi dengan sejumlah biro perjalanan. Selain itu, kami, sering mengikuti sejumlah pameran, baik itu lokal maupun di luar negeri," kata Fachrodji yang menjabat sebagai Direktur Produksi PT Inhutani 1 2005 sampai sekarang.


Minyak Kayu Putih

Sektor usaha lainnya yang juga telah dijalankan oleh Perum Perhutani adalah hasil budi daya madu, minyak kayu putih, dan air mineral. Karena itu, upaya untuk terus mengembangkan sektor usaha ini telah digenjot demi mengimbangi berkurangnya hasil tebang kayu.

Untuk minyak kayu putih, madu, dan air mineral, diakui cakupan wilayah jual masih sangat terbatas, apalagi untuk mengekspor. Hal ini menurutnya karena Perum Perhutani masih belum memiliki tenaga ahli yang menguasai pemetaan segi bisnis ketiga produk tersebut.

"Ketiga barang dagang itu lebih unggul dari segi kualitas. Namun memang kami akui, kami kalah dalam bidang pemasaran. Maka, kami sejauh ini masih memilih untuk bekerja sama dengan pihak lain. Kami akan terus berupaya mengembangkan penjualan," kata kandidat doktor manajemen bisnis IPB ini.

Selain itu, ayah tiga anak (Nurina Amarilla, Afra Khoirul Rizal Aldausi, dan Rizqia Nur Fadhila) ini berharap, pada akhirnya masyarakat benar-benar merasakan manfaat langsung keberhasilan Perhutani. Bukan hanya masyarakat yang hidup di sekitar wilayah pengelolaan produk, tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Dia pun berobsesi agar hutan benar-benar memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Dengan nilai tambah yang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut, pada gilirannya kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan hutan muncul dengan sendirinya. [DDS/L-8]

Bookmark and Share

0 comments:

Based on original Visionary template by Justin Tadlock
Visionary Reloaded theme by Blogger Templates

Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukabumi Visionary WordPress Theme by Justin Tadlock Powered by Blogger, state-of-the-art semantic personal publishing platform