Ditulis Oleh Pikiran Rakyat
Selasa, 10 November 2009
Mereka Cuma Belum PahamBERBAGAI momentum perjuangan bangsa, seperti "Hari Pahlawan", seyogianya tak diperingati berupa seremoni belaka. Lebih dari itu, peringatan tersebut seharusnya dijadikan ajang untuk mengevaluasi diri, berkaca kepada perjuangan di masa lalu. Betapa para pejuang berusaha sekuat tenaga mempertahankan aset bangsa dari kaum penjajah, dan begitulah pula kiranya sikap yang mesti dimiliki para penerus.
Salah satu objek yang mesti diselamatkan sekarang adalah kawasan kehutanan negara. Betapa tidak, saat ini hutan kerap menjadi objek yang paling mudah untuk dieksploitasi. Untunglah, kesadaran untuk menyelamatkan hutan masih terdengar. Salah satunya adalah gerakan pengelolaan dan pembangunan secara lestari.
Gerakan itu memiliki banyak manfaat. Selain memulihkan keseimbangan dan kelestarian hutan, gerakan itu dinilai mampu "menciptakan" perekonomian masyarakat yang lebih mapan serta ketahanan sosial-budaya. Pasalnya, di dalam gerakan tersebut masyarakat di sekitar diminta berperan aktif, tak sekadar menjadi penonton.
Hal itu pula yang kini dilakukan pada kawasan kehutanan negara di Bandung selatan yang dikelola Perum Perhutani Unit III. Pemulihan dan pembangunan kawasan kehutanan dilakukan secara persuasif dengan ikut melibatkan peran serta masyarakat sehingga tercipta lingkungan kehutanan yang lestari dan bermanfaat bagi semua anasir.
Lies Bahunta, Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III mengatakan, tantangan pembangunan kembali kawasan kehutanan Indonesia, termasuk di Bandung Selatan, selama ini sebenarnya cukup pelik. Pasalnya, hal itu berkelindan dengan persoalan mendasar, yakni kesejahteraan masyarakat desa di sekitar hutan yang terpengaruh oleh tingkat keamanan hutan.
"Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya yang saling mendukung di antara masyarakat dengan unsur kehutanan, bagaimana membangun pelestarian lingkungan berbasiskan kesejahteraan masyarakat sekitar," ujarnya.
Menurut Lies, kini kualitas pembangunan hutan lestari di Bandung selatan kian meningkat, bahkan hampir sesuai dengan standar yang ditetapkan internasional. "Sebagai contoh, pencurian kayu di hutan sudah bisa diminimalkan. Begitu pula dengan penggunaan bahan kimia," tuturnya.
**
SESUNGGUHNYA, pengelolaan kawasan kehutanan negara memiliki sejarah yang begitu panjang. Mulai dari zaman kolonial Belanda, zaman perang kemerdekaan, hingga era keterbukaan sekarang ini. Saat ini, pengelolaan kawasan kehutanan negara memiliki peluang jauh lebih baik. Tentu saja, hal itu bisa direngkuh jika didukung oleh berbagai pihak.
Anin (76), tetua masyarakat sekitar hutan Gunung Puntang, Kec. Banjaran, Kabupaten Bandung, mengatakan, upaya pengelolaan hutan secara lestari --yang sekarang tengah didorong-- harus didukung oleh masyarakat. Komunikasi harus terus dibangun secara berkelanjutan dengan Perum Perhutani, juga berbagai unsur pemerintahan setempat. Ia melihat, seiring perjalanan waktu pengelolaan hutan, telah terjadi situasi yang begitu mencolok yang kemudian berpengaruh kepada pengelolaan hutan.
Ia berkisah, pada zaman kolonial Belanda hingga tahun 1942, pengelolaan kehutanan negara di Bandung selatan dilakukan secara ekstraketat. Masyarakat sekitar menjadi sangat takut. Jangankan mengganggu, sekadar mengambil manfaat dari hutan pun mereka sungkan. Betapa tidak, ketika itu, jika kedapatan memotong, mengambil ranting-ranting pohon, atau sekadar ngarencek (mengambil kayu bakar), warga langsung dikenakan hukuman penjara selama beberapa hari.
Hukuman itu terbukti efektif. Makanya, pemerintah kolonial Belanda cukup menempatkan segelintir personel untuk menjaga kawasan hutan yang begitu luas. Mereka di-back-up oleh anasir hamba wet (perangkat hukum) yang senantiasa siap menerapkan sanksi tegas kepada para pengganggu hutan.
**
Memasuki zaman kemerdekaan, sejak tahun 1945 sampai sekarang, pengelolaan kehutanan negara kian terbuka. Jumlah personel penjaga hutan pun semakin banyak. Pemerintah memilih langkah persuasif dalam menjaga hutan, terutama ketika "berhadapan" dengan masyarakat sekitar.
Bahkan, saat ini masyarakat diperbolehkan ikut memanfaatkan hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pada sejumlah daerah, program tersebut memang mampu memunculkan sejumlah manfaat positif. Ini sesuai dengan tujuan utama: pengelolaan hutan secara lestari dan memunculkan situasi aman di mana masyarakat ikut merasa bertanggung jawab memelihara kawasan kehutanan negara.
Akan tetapi, sistem tersebut masih perlu diikuti dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat atas pentingnya kelestarian berbagai habitat di kawasan kehutanan. Yang patut dipentingkan adalah keseimbangan berbagai ekosistem di kawasan kehutanan karena masing-masing memiliki fungsi.
Yang saat ini memprihatinkan, menurut Anin, di kawasan Bandung selatan masih ada kelompok masyarakat yang menebang atau mencabut tumbuhan di hutan karena dianggap mengganggu kepentingan budi daya tanaman di hutan. Petani kopi peserta PHBM, misalnya, membabat beberapa jenis tumbuhan, seperti peuteuy selong dan kacang babi. Padahal, pohon peuteuy selong berfungsi sebagai penahan longsor, sedangkan pohon kacang babi bermanfaat untuk produksi pupuk organik.
Oleh karena itu, menurut Anin, sosialisasi dan upaya-upaya memahamkan masyarakat perlu terus dilakukan. Hal itu nantinya akan menjadi "jembatan" antara kepentingan ekologi dan teknis budi daya tanaman perkebunan di kehutanan. "Peran komunikasi yang lebih efektif antara pihak pengamanan hutan dengan masyarakat harus lebih terbangun. Dengan demikian, kepentingan pelestarian hutan melalui pembangunan ekonomi di kehutanan saling terdukung," katanya. (Kodar Solihat/"PR")***
0 comments:
Posting Komentar