Ditulis Oleh Agung Nugroho
Selasa, 16 Februari 2010
Praktik mafia ternyata juga telah menyebar luas hingga ke pelosok-pelosok hutan. Di areal hutan Indramayu, tindakan tidak terpuji itu sering menimbulkan keresahan. Bagi Perhutani, ulah mafia sering membuat jengkel.”Mafia tidak hanya ada di perkotaan. Di hutan pun ada. Karena ulah mafia ini, sering muncul gejolak di masyarakat hutan. Kami juga dibuat gemas dan jengkel,” tutur Administratur Perum Perhutani Kantor Pemangku Hutan (KPH) Indramayu, Budi Shohibuddin.
Lahan di Perhutani yang luasnya mencapai 20.000 hektare lebih (hutan kayu jati, kayu putih, dan mangrove), menjadi lahan empuk praktik mafia. Sejak program tumpang sari digulirkan, para mafia itu memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dengan mengeruk keuntungan dengan melanggar hukum.
”Para mafia secara ilegal memperdagangkan lahan tumpang sari. Mereka mengklaim pemegang hak, lalu menyewakan tanah kami ke petani penggarap. Ini pelanggaran hukum,” tutur Budi.
Lahan hutan di Indramayu, tegas dia, tidak untuk disewa-sewakan, apalagi diperjualbelikan. Masyarakat boleh menggarap lahan melalui tumpang sari secara gratis. Bahkan mulai Januari 2010, yang semula ada kewajiban bagi hasil, kini telah dihapuskan.
”Itu berarti tidak ada pungutan sama sekali. Jadi tidak benar kalau lahan kami disewa-sewakan. Akibat ulah mafia ini, banyak masyarakat menjadi korban. Perhutani menanggung risiko berupa ketidaktertiban pelaksanaan tumpang sari,” ujar Budi.
Akibat praktik mafia, banyak penggarap lahan yang bukan masyarakat asli sekitar hutan. Mereka datang dari berbagai tempat dan menggarap lahan lebih dari yang diperuntukan. Pengelolaan lahan berskala bisnis, dan masyarakat sekitar hutan tidak kebagian lahan tumpang sari.
”Ini sering memicu konflik sosial. Si penggarap karena merasa telah menyewa, akhirnya mengelola lahan seenaknya tanpa mengindahkan aturan. Karena orang luar, tanggung jawab terhadap kewajiban juga tidak ada,” tutur Budi.
Para penggarap hanya datang mengolah tanah saat musim hujan. Saat kemarau, mereka meninggalkan hutan seenaknya. Tidak jarang ada yang membersihkan lahan hutan dengan cara dibakar, akibatnya hutan kayu putih ikut terbakar. Pada situasi seperti itu, para mafia biasanya kabur.
”Anehnya, mafia ini sering berteriak seolah-olah sebagai pahlawan bagi penggarap,” tutur Budi.
Menurut Perhutani, praktik mafia lahan tumpang sari sudah melewati batas kesabaran. Perhutani kini memulai gerakan penertiban lahan tumpang sari.
Salah satunya melalui inventarisasi kembali lahan-lahan tumpang sari serta penggarap. Perhutani akan mendaftar penggarap dan memprioritaskan hak garap lahan tumpang sari kepada masyarakat asli sekitar hutan.
Tahun ini akan menerbitkan surat ijin menggarap (SIM) kepada seluruh penggarap. Yang tidak mengantongi SIM, tidak diperbolehkan. Dan untuk memperoleh SIM, harus lebih dulu memenuhi persyaratan.
”Di antaranya domisili serta menandatangani pernyataan yang menjadi kontrak antara Perhutani dan petani. SIM nanti harus diperpanjang setelah tiga atau lima tahun,” tutur Budi.
Untuk pernyataan, di dalamnya berisi pengakuan kalau lahan yang digarap itu milik negara (Perhutani). Bersedia memenuhi aturan garap seperti penyediaan jalur bebas 1,5 meter untuk kayu putih, dan 1 meter untuk kayu jati. Penggarap wajib mematuhi larangan ”perempelan” daun dan batang kayu putih, serta bersedia memelihara jalur bebas.
”Ada juga kesediaan untuk tidak menyewakan hak garap, wajib menjaga kelestarian, dan mencegah kebakaran hutan. Ada juga kesediaan dikenai sanksi bila melanggar,” ujar Budi.
Dengan menerbitkan SIM, diharapkan praktik mafia bisa diberantas. Ketidaktertiban bisa diluruskan sehingga tumpang sari tidak berubah menjadi tumpang tindih seperti selama ini.
Kini Perhutani Indramayu menyusun inventarisasi melalui penertiban SIM. Sosialisasi melalui masing-masing asisten perhutani dan mandor digencarkan, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah Indramayu, melalui camat, desa hingga kepolisian. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), di mana tokoh-tokoh masyarakat sekitar hutan menjadi anggotanya, juga dilibatkan. Belakangan, memang mulai ada kemajuan ketika Perhutani, pemerintah, dan LMDH, Sabtu (13/2) pekan lalu, sepakat untuk wajib menerapkan jalur bebas yang ditandatangani juga oleh Camat Kroya, Gantar, Terisi, Cikedung, serta para kapolsek, termasuk danramil.
”Inventarisasi dan penerbitan SIM nantinya bersama lembaga terkait. Kita ingin hutan tetap lestari, produktif, dan bisa menjadi sumber kehidupan masyarakat. Semua harus tertib, tidak tumpang tindih atau memperdagangkan tanah hutan untuk kepentingan sendiri seperti dilakukan mafia hutan,” tutur Budi. (Agung Nugroho/”PR”)***
0 comments:
Posting Komentar