Ditulis Oleh Agung Nugroho
Selasa, 16 Februari 2010
Tumpang Sari atau Tumpang Tindih?
Berhubungan dengan masyarakat luas, terutama dalam pengelolaan lahan hutan, memang banyak makan hati. Meski berbagai bentuk kompensasi dan keringanan telah diberikan, tetapi pelaksanaan mengejar target yang hendak dicapai ternyata tidak mudah di lapangan.
Alih-alih memberi kesempatan warga untuk menggarap lahan melalui tumpang sari, yang terjadi kemudian si pemilik lahan justru terdesak. Kesulitan mengolah lahan miliknya sendiri.
Itulah yang dialami Perhutani Indramayu. Tumpang sari yang sejak awal digagas sebagai kepedulian badan usaha milik negara (BUMN) itu terhadap lingkungan sosial sekitar hutan, pada praktiknya malah menjadi kontraproduktif bagi Perhutani.
Bagaimana tidak, masyarakat penggarap hutan lebih menggunakan logika sendiri. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan dan tanaman budi daya lain tanpa memedulikan tanaman pokok milik Perhutani.
Akibatnya, Perhutani kesulitan mengembangkan tanaman budi dayanya. Hal itu berdampak pada menurunnya produktivitas tanaman inti yang dikembangkan. Tumpang sari kini berubah menjadi tumpang tindih.
Di Indramayu, Perhutani menanggung risiko menurunnya daya dukung lahan untuk tanaman inti, baik jati maupun kayu putih. Yang terparah pada kayu putih, di mana dalam beberapa tahun ini menurun produktifitasnya.
”Produksi kayu putih cenderung menurun. Bahan baku berupa daun kayu putih berkurang karena lahannya terdesak tanaman tumpang sari. Kini persentase produksi di bawah 95 persen,” tutur Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih Jatimunggul, Indramayu, Iwan Gurmana.
Perhutani boleh dibilang kewalahan menghadapi fenomena tersebut. Saking sulitnya, berbagai bentuk keringanan dikeluarkan, tujuannya agar masyarakat penggarap mau mengerti.
Untuk mencapai kata ”mengerti” dari masyarakat, ternyata sangat sulit. Ada pertarungan kepentingan (conflict of interest). Bila tidak diantisipasi, hal ini bisa memunculkan gejolak di kalangan masyarakat penggarap.
”Butuhkan kesabaran luar biasa. Meski begitu, ketidaktertiban tetap harus diluruskan. Aturan mesti ditegakkan. Tahun 2010 ini, kami tengah menertibkan sesuatu yang tidak tertib di dalam hutan,” tutur Administratur Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Indramayu, Budi Shohibuddin.
Serangkaian langkah ditempuh. Ada strategi-strategi lunak maupun keras. Yang lunak, berupa kompensasi di lahan tumpang sari sejak tahun 2006. Mengingat antusiasme penggarap lahan sangat besar, Perhutani mengalah dengan melakukan program prorakyat berupa perubahan jarak tanaman pokok kayu putih.
Administratur Budi menuturkan, jarak tanam kayu putih yang semula 3 x 1 meter, direnggangkan menjadi 6 x 1 meter. Dalam perenggangan itu, Perhutani minta ada jalur bebas atau kolom lahan non-tumpang sari 1,5 meter untuk kayu putih dan 1 meter untuk kayu jati. Jalur bebas ini diperuntukan bagi tegakan tanaman kayu putih yang tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat penggarap lahan Perhutani.
”Dari 10.200 hektare lahan kayu putih, belum ada tiga puluh persen yang melaksanakan aturan itu. Di lapangan, petani penggarap masih ngerecoki jalur bebas tumpang sari,” tutur Budi.
Di lapangan, seperti di wilayah Kantor Resort Pemangku Hutan (KRPH) Jatimunggul, dari 1.340 hektare lahan kayu putih, tidak lebih dari 500 hektare yang baru melaksanakan aturan soal jalur bebas 1,5 meter. Padahal, sosialisasi telah dilakukan ke penggarap melalui forum tatap muka langsung, pemanfaatan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) maupun unsur desa dan tripika kecamatan.
”Harusnya masyarakat senang dengan penjarangan jarak tanam dari semula 3 x 1 meter menjadi 6 x 1 meter. Itu berarti lahan tumpang sari tambah luas. Tapi ternyata susah. Kayu putih yang berada di jalur bebas 1,5 meter masih sering dirusak,” tutur Asisten Perhutani Jatimunggul, Deden Yogi.
Di Indramayu, luas lahan tumpang sari di kawasan kayu putih yang mencapai 10.200 hektare umumnya dimanfaatkan untuk sawah tadah hujan oleh sekitar 100 ribu penggarap. Meski sudah dijarangkan hingga 6 x 1 meter, di sepanjang hamparan luas lahan tumpang sari masih banyak yang terlihat belum dilaksanakan.
Di banyak tempat, kayu putih terdesak tanaman padi. Sesuai dengan aturan 1,5 meter, tegakan kayu putih tidak boleh terganggu. Namun di lapangan, terlihat jarak antara kayu putih dan tanaman padi tumpang sari cuma 1 meter. Tidak sedikit juga tanaman padi menempel pada tanaman kayu putih.
”Pendekatannya harus dari berbagai sisi, ke masyarakat maupun lingkungan internal Perhutani. Selama ini ketidaktertiban itu muncul dari banyak faktor. Intinya masyarakat harus sadar hak dan kewajiban, begitu juga internal Perhutani. Misalnya soal keterbatasan sumber daya manusia. Jumlah mandor dan petugas pemantau hutan sangat sedikit dibandingkan dengan luas lahan yang menjadi tanggung jawab pengawasannya,” tutur Asper Cikawung, Dedi Radiawan.
Meski secara umum penegakan aturan baru soal jalur bebas 1,5 meter belum menggembirakan, ada yang sudah efektif berjalan. Hasilnya patut dibanggakan. Ketika Perhutani melakukan penjarangan jarak 1 x 6 meter dan petani penggarap mengikuti aturan dengan melindungi jalur bebas 1,5 meter, tampak tanaman kayu putih tumbuh subur. Karena tidak berebut nutrisi dengan padi, kayu putih bisa lebih produktif menghasilkan daun sebagai bahan baku minyak kayu putih.
Contoh sukses pelaksanaan program itu terdapat di hutan Sanca. Di daerah tersebut, tanaman padi dan kayu putih sama-sama tumbuh subur. ”Ini karena sosialisasi terus-menerus. Kebetulan masyarakat Sanca mudah didekati. Hasilnya tidak mengecewakan. Hutan Sanca menjadi percontohan sukses pelaksanaan jalur bebas 1,5 meter,” tutur Asper Sanca Koma.
Hasil evaluasi sepanjang tahun 2006 tampak belum menggembirakan. Lahan kayu putih di jalur bebas masih terdesak tanaman tumpang sari. Perhutani sendiri masih bersikap sabar. Hingga sejak Januari tahun 2010 ini, kembali digulirkan program prorakyat berupa pembebasan berbagai jenis pungutan kepada penggarap lahan hutan.
Pola perjanjian kerja sama (PKS) berupa sharing hasil tumpang sari antara penggarap dan Perhutani serta Pemerintah Indramayu dan pemerintahan desa, sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13/2002, dihapuskan. Artinya, petani di lahan tumpang sari tidak perlu membayar iuran melalui bagi hasil.
”Tujuannya, petani sadar perlunya menegakkan aturan. Kita bebaskan pungutan. Perda kini akan dihapus. Tidak ada alasan bagi penggarap untuk tidak mematuhi aturan jalur bebas,"” tutur Administratur Budi
Pembebasan pungutan menegaskan konsep PHBM yang bertujuan melestarikan hutan dan memunculkan nilai tambah bagi negara ataupun masyarakat sekitar hutan. “Kami BUMN yang memberikan kontribusi langsung ke masyarakat berupa modal utama produksi pertanian, yakni tanah. Sebenarnya tidak ada alasan menolak jalur bebas 1,5 meter,” tutur Budi.
Meski pungutan dihapuskan, tidak berarti Pemerintah Indramayu kehilangan pendapatan dari sektor hutan. Perhutani tetap membayar kewajiban undang-undang melalui pajak yang nilainya hampir Rp 3 miliar tiap tahun, baik untuk pajak bumi dan bangunan, maupun pengelolaan kayu dan nonkayu.
”Tahun 2009, dari target Rp 2,5 miliar, realisasi yang dibayar Perhutani ke pemerintah Rp 2,9 miliar atau 118 persen. Itu akumulasi dari PBB, hasil kayu, dan nonkayu,” tutur Budi.
Kontribusi terbesar ialah yang diberikan melalui tumpang sari. Ada sedikitnya 16.000 hektare sawah yang dikelola petani penggarap di Indramayu. Bila satu hektare hasilnya rata-rata 5 ton gabah, sedikitnya ada 50.000 ton gabah untuk satu kali panen.
”Tinggal kalikan saja produksi gabah dengan harga gabah. Kontribusi ini bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Itu bukan dinikmati Perhutani, tetapi oleh penggarap,” tutur Budi.
Hanya, kesabaran tentu ada batasnya. Bila dalam satu titik ternyata sulit, Perhutani, seperti ditegaskan Administratur Budi, bukan tidak mungkin memberlakukan strategi keras berupa penertiban langsung di lapangan.
”Intinya kita tidak mau tumpang sari menjadi tumpang tindih. Perhutani menginginkan semuanya bisa berjalan tanpa saling mengganggu,” tutur Budi menandaskan.(Agung Nugroho/”PR”)***
0 comments:
Posting Komentar