Selasa, 16 Juni 2009

Alih Kelola Ancam Perekonomian Warga

Ditulis Oleh Kompas
Selasa, 16 Juni 2009

Warga Tangkubanparahu Minta Diajak Bicara

BANDUNG, KOMPAS - Warga yang tinggal di sekitar Taman Wisata Alam Tangkubanparahu, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, mengkhawatirkan rencana alih kelola kawasan wisata itu dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Barat kepada PT Graha Rani Putra Persada (GRPP). Pengalihan tersebut hanya membunuh mata pencarian mereka.

Hal itu dikatakan Ketua Forum Lembaga Masyarakat Desa Hutan Bandung Utara Lee Roy Matita, Minggu (14/6). Rencana alih kelola itu mengancam 75 hektar lahan hutan lindung yang dikelola masyarakat bersama Perum Perhutani Jawa Barat-Banten.

"Di atas lahan 75 hektar itu rakyat menanam kopi dan rumput untuk pakan ternak sapi perah. Hal itu sebelumnya disepakati dengan Perhutani untuk menjaga tegakan pohon agar tidak ditebang warga. Itu sekaligus perwujudan program pengelolaan hutan bersama masyarakat," katanya.

Dengan rencana pengembangan kawasan wisata yang antara lain dilengkapi dengan penginapan (cottage), restoran, dan kolam renang oleh PT GRPP, warga terancam kehilangan mata pencarian. Karena itu, Pemerintah Provinsi Jabar harus bertindak tegas dengan mendudukkan semua pihak dalam rencana pengelolaan itu.

"Kami ingin diajak berdiskusi mengenai rencana alih kelola. Selama ini kami hanya mendengar desas-desus tanpa adanya kepastian," ujar Roy.

Dari 75 hektar itu, 25 hektar di antaranya ditanami kopi dan sisanya ditanami rumput. Warga yang bertani kopi rata-rata memiliki 1.000 pohon. Setiap pohon rata-rata membuahkan 4 kilogram kopi per enam bulan. Dengan harga kopi Rp 28.000 per kilogram, pendapatan warga berkisar Rp 112 juta per enam bulan. Pendapatan itu terancam hilang dengan rencana pengembangan Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanparahu. Salah prosedur

Sebanyak 80 keluarga peternak sapi perah pun terancam kesulitan mendapatkan pakan ternak. Anen (35), salah seorang peternak sapi perah, mengatakan, dengan harga susu Rp 3.100-Rp 3.300 per liter, dirinya merasa berat bila harus membeli rumput untuk pakan sehari-hari.

Setiap hari seekor sapi membutuhkan minimal tiga ikat atau 2-3 kilogram rumput. Harga rumput di pasaran Rp 150-Rp 200. Bila harus membeli rumput bagi dua ekor sapinya, Anen mengeluarkan rata-rata Rp 36.000 per bulan. "Biaya itu belum termasuk perkiraan harga rumput melonjak akibat lahan rumput makin habis, yang menyebabkan rumput langka," ujarnya.

Keresahan juga dirasakan Asep Sutisna (50), warga Cikole, Lembang, yang sejak 1982 berdagang suvenir di sekitar Kawah Ratu Tangkubanparahu. Ia meraih keuntungan sekitar Rp 1 juta per bulan dari berdagang kaus, jaket, dan topi. Ia mendengar pedagang akan ditertibkan oleh pengelola yang baru. "Kami tidak mempersoalkan pengembangan obyek wisata, tetapi kami jangan diusir dari sini," katanya.

Rencana alih kelola juga diwarnai prosedur perizinan yang tidak taat asas. Izin prinsip pengelolaan kawasan wisata yang diperoleh PT GRPP dari Departemen Kehutanan tidak melalui rekomendasi dari Gubernur jabar.

Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Iskandar melalui suratnya kepada Gubernur Jabar pada Februari 2007 menyarankan Gubernur agar tidak memberikan rekomendasi. Izin prinsip pengelolaan TWA dari Dephut dinilai menyalahi prosedur. (REK)

0 comments:

Based on original Visionary template by Justin Tadlock
Visionary Reloaded theme by Blogger Templates

Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukabumi Visionary WordPress Theme by Justin Tadlock Powered by Blogger, state-of-the-art semantic personal publishing platform